Selasa, 21 Juli 2015

Benci terlalu rindu..

Kenapa selalu begini..
Setiap kali terlalu merasa rindu, emosiku jadi mudah terganggu..
Mood hancur dengan begitu mudahnya..
Jangankan untuk tertawa, tersenyum saja rasanya tak ingin..
Hanya diam, tak ingin bicara apapun dan dengan siapapun..
Kecuali kamu..
Aku benci selalu merasa seperti ini..
Benci merasa kesepian padahal banyak orang disekitarku..
Aku benci terlalu merasa rindu..
Aku benci terlalu rindu kamu..
Entah kenapa rasa rindu ini membuat emosiku jadi tak menentu..
Seperti tak inginkan yg lain kecuali kamu ada disini..
Seperti hanya ingin kamu yg menemani..
Seperti hanya kamu yg mampu meredakan emosiku..
Hanya kamu yg mampu mengobati rasa rinduku..
Kumohon jangan siksa aku seperti ini..
Rindu yg teramat dalam ini menyita tenagaku..
Menyita waktu bahagiaku..
Dan menguras air mataku..
Aku tak tau apa jadinya aku jika tanpa kamu..
Aku merasa sakit terlalu lama merindukanmu..
Aku rindu senyumanmu di depan mataku..
Aku rindu suara tawamu yg menggelitik kupingku..
Aku rindu tatapan mata sayu mu..
Aku rindu memanjakanmu..
Aku rindu kecupanmu dikeningku..
Aku rindu usapan tanganmu dikepalaku..
Aku rindu genggaman tanganmu..
Aku rindu pelukan hangatmu..
Aku rindu semua tentangmu..
Aku rindu kamu..
Aku terlalu merindukanmu..
Dan aku sangat sangat membutuhkanmu ada disini, bersamaku :"(

Minggu, 05 Juli 2015

Untuk Pria yang Kucinta, Dari Aku yang Tak Punya Keluarga Sempurna

------------------------------------------
Meski bukan tulisanku, tapi ini kisahku, sebuah tulisan yang mewakili perasaan takut dan gelisahku..
------------------------------------------

Created by : Nabila Inaya (Hipwee)
www.hipwee.com/hubungan/untuk-pria-yang-kucinta-dari-aku-perempuan-yang-punya-keluarga-tak-sempurna/

------------------------------------------

“Aku tinggal berdua saja sama ibu. Ayah tinggal sendiri di rumahnya.”

Kali pertama aku melihat raut wajahnya tampak berbeda. Dia yang biasanya terlihat sumringah dengan binar mata indah, ketika itu tiba-tiba diam tak banyak bicara.

Ya, kami memang tak pernah menyinggung perkara keluarga sebelumnya. Tapi saat hubungan kami semakin dekat, aku merasa perlu bercerita. Aku mantap menjelaskan siapa diriku sebenarnya, juga perihal statusku yang tumbuh dalam sebuah keluarga tak sempurna.

Pertemuan dengannya adalah sebuah keberuntungan, walaupun awalnya berdampingan dengan dia tak benar-benar membuatku nyaman.

Sampai detik ini, aku masih saja tak percaya. Tuhan memang sutradara paling hebat. Dia yang berhasil mempertemukan kami hingga akhirnya bisa berkawan akrab. Berawal dari teman biasa, rasa saling suka akhirnya membuat kami jujur dan mengaku sama-sama cinta.

Kisah yang sederhana memang, tapi di balik itu ada ketakutan yang sebenarnya kusembunyikan. Ada rasa ngeri yang dengan sekuat tenaga berusaha kuabaikan. Entah itu benar-benar rasa takut atau sekadar minder jika dia tahu tentang keluargaku. Tentang ayah dan ibu yang sudah berpisah. Tentang keluarga kami yang tak lagi tinggal serumah.

“Dan jika aku akhirnya jujur bicara, apakah dia bisa menerima? Apakah statusku sebagai perempuan yang besar dalam keluarga tak sempurna akan membuatnya kecewa? Mungkinkah hubungan kami akan tetap baik-baik saja?”

Di depan laki-laki seperti dia, aku merasa berbeda. Aku tidak seperti mereka, perempuan yang keluarganya utuh dan baik-baik saja.

Aku memang berbeda dari perempuan selainnya. Aku tak sama dengan mereka yang lahir dan besar dalam dekapan hangat kedua orang tua. Bahkan di usia yang masih sangat muda, masalah keluarga hingga perpisahan ayah dan ibu itu benar-benar terjadi di depan mata.

Sayangnya aku bisa apa? Aku hanya seorang anak kecil yang berusaha jadi dewasa, atau dipaksa jadi dewasa lantaran keadaan. Melihat bagaimana cinta ternyata tak bisa membuat sepasang suami istri bertahan dalam sebuah hubungan. Menyaksikan betapa sebuah hubungan keluarga bisa begitu saja hancur berantakan, hingga ibuku yang pernah begitu limbung karena tak sanggup hidup sendirian.

"Ketika tayangan televisi saja di golongkan sesuai umur seseorang, apakah semua yang terjadi di masa kecilku dulu memang sudah pantas aku telan?”

Aku sudah kebal dengan omongan miring orang-orang. Tapi dia yang katanya menyayangiku, tidakkah telinganya akan cepat meradang?

Ketika dia ternyata tak keberatan dengan statusku, aku tentu merasa bahagia. Aku beruntung bisa bertemu pria yang mau menerima kondisiku apa adanya. Tapi kami tak hidup berdua saja di dunia. Pria yang aku cintai juga punya orang tua, bahkan datang dari keluarga yang boleh dibilang sempurna.

Aku bayangkan akan banyak orang yang mempertanyakan pilihannya. Mulai dari kedua orang tuanya yang menanyakan asal-usul dan keluargaku. Soal siapa ibuku dan dimana ayahku. Dan ketika mereka tahu bahwa keluargaku tak sempurna, mungkin mereka pun akan meragukan masa depan kami berdua.

“Di tengah keraguan dari orang-orang yang dia sayangi, mungkinkah dia mau tetap menjaga hati? Memantapkan diri bahwa pilihannya memang aku, perempuan yang tidak sempurna ini?”

Aku membayangkan kehidupan setelah menikah pastilah tak mudah. Bahkan ingatan tentang masa lalu membuatku semakin ingin menyerah.

Jika kami mantap untuk bersama, ada beban yang sebenarnya kami tanggung berdua. Dia yang mungkin harus menghadapi keraguan dari orang-orang di sekitarnya. Sementara, aku akan sibuk bergelut dengan ketakutanku sendiri.

Tak bisa dipungkiri, ada rasa takut yang seperti terus-menerus menghantui. Bayangan kegagalan pernikahan orang tuaku yang bisa jadi juga aku alami nanti. Dan sebagai pasangan yang belum menikah, aku merasa harus bisa memilah. Tak semua cerita masa laluku layak aku bagikan dengannya. Selain menceritakannya akan menguras emosi, berbagi kisah kelam itu seperti menggores luka di wajahku sendiri.

“Mungkin nanti, nanti ketika kami sudah mantap melangkah ke pelaminan. Akan lebih banyak cerita yang aku bagikan.

Aku pun pasti tak lagi cemburu atau iri, jika harus membandingkan kenangan masa kecilnya yang menyenangkan dengan ingatan masa laluku yang kelam.”

Tapi meski tak punya keluarga sempurna, aku akan berusaha jadi sebaik-baik manusia. Seorang istri dan ibu yang menjadikan keluarga sebagai prioritas utama.

Siapa bilang buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya? Jika kedua orang tuaku gagal dalam rumah tangga, toh belum tentu aku akan merasakan hal yang sama. Justru pengalaman pahit itulah yang akan mengingatkanku. Agar kelak saat aku sudah menikah dan berkeluarga, aku bisa memberikan yang terbaik yang aku bisa.

Berusaha jadi istri yang patuh pada suami dan jadi ibu yang baik bagi anak-anakku nanti. Aku berjanji tak akan kubiarkan anak-anakku merasakan apa yang pernah kualami. Tentang sedihnya kehilangan keluarga, melihat perpisahan orang tua, hingga merasakan kekhawatiran yang luar biasa saat berhadapan dengan pasangan yang begitu dicinta.

“Untuk pria yang akan bersamaku menghabiskan masa tuanya, semoga dia semakin mantap memilihku sekalipun aku bukan perempuan yang tumbuh dalam sebuah keluarga sempurna.”